Si Kami
Setelah sekian lama tidak bergerak, akhirnya ada langkah juga.
Sebuah nasihat yang selalu menasihatiku berbunyi, “Air yang menetes pada satu titik akan melubangi batu jika tetesan terjadi berulang-ulang.”
—
Suatu hari saat sedang mengobrol dengan seorang teman. Suasana percakapan berjalan santai, membicarakan hal-hal yang biasa seorang teman tanyakan ketika baru pertama bertemu lagi setelah sekian lama. Benar-benar biasa. Aku menanyainya seputar kabar dan keberjalanan beberapa kegiatan organisasi yang kami ikuti bersama, dia pun sebaliknya. Kami saling bertanya dan menjawab bergantian. Hingga saat kami tiba pada suatu obrolan yang membuatku menyadari sesuatu.
“Kenapa kemarin nggak ikut roadshow sih, A?” (Sepertinya percakapan saat itu sedang membahas hal ini, aku sedikit lupa)
“Dih atuh, da Si Kami mah nggak tau.” dia menjawab dengan ekspresi yang menunjukan seolah memang bukan salahnya. Tidak ada yang salah juga sebenarnya.
“Wah parah sih.” Aku menanggapi dengan sedikit gurauan.
“Heeh da Si Kami téh nggak buka grup, jadinya nggak tau.”
Ya, intinya kurang lebih seperti itu. Dia terus-terusan menyebut “Si Kami” di sepanjang percakapan setelahnya. Bisa jadi aku yang salah dengar. Mungkin saja yang dia sebutkan itu “Si Kamil” bukan “Si Kami”, karena nama belakangnya memang demikian. Tapi tetap saja, yang terdengar olehku justru kata “Si Kami” dan kata ini terus aku ingat sampai sekarang. Bahkan saat aku sudah lama sekali tidak bertemu maupun mengobrol dengan orang tersebut pun, aku tetap mengingatnya. Memorable. Si Kami.
Padahal, aku juga tidak tahu sama sekali apa arti dari kata itu. Atau sempat berpikir kata itu mungkin memiliki arti juga tidak pernah. Bahkan aku bisa saja salah kaprah, bukan seperti itu maksudnya. Aku tidak tahu. Hanya terdengar unik saat seseorang menjadikannya sebagai panggilan diri sendiri dalam sebuah percakapan. Si Kami.
Aku juga tidak pernah menanyakan terkait hal ini kepadanya. Tidak terlalu penting, pikirku. Biarkan saja begini, menjadi unik.
Dengan begitu, cerita ini berakhir.