23/06/2021
Ini cerita tentang “mereka” dan kebab.
Hari ini sungguh berwarna. Diawali dengan pagi hari yang hujan, aku hampir tidak mendapat semangat sama sekali untuk beranjak dari hangatnya kasur kapuk dan selimut tebal itu.
Tapi, saat aku masih ingin tetap menyerah pada godaan kehangatan di tengah dinginnya pagi, hujan pun berhenti, seolah tidak ingin dijadikan alasan untuk aku bisa berleha-leha.
Tapi, “mereka” justru membuat redanya hujan pagi tadi menjadi seperti tidak ada artinya. Sama saja.
Hilangnya dingin hujan ternyata digantikan oleh dinginnya hati. Kaku. Seketika menguapkan harapan-harapan bahagia yang muncul karena cuaca hari yang berubah cerah.
“Mereka” sejujurnya sedang berhadapan dengan diri mereka sendiri. Bergelut dengan egonya, keinginannya, dan lain-lainnya.
Namun, kenapa sikap “mereka” selalu seperti teka-teki? Aku seringkali tidak bisa memahami bagaimana hati “mereka” berbicara. Seolah-olah hati itu memang hanya diciptakan untuk “mereka” saja. Dan hanya “mereka” sendiri yang paham.
Belum juga selesai dengan masalah dinginnya hati, masalah lain sudah muncul lagi. Kali ini terkait kebab.
Sungguh lawak. Kebab ternyata malah lebih bisa menghiburku di hari ini.
Hanya karena akses pintu masuk yang berbeda, hanya karena urusan tinggal serumah dengan yang punya rumah, dan hanya karena aku yang sudah di jalan. Cerita kebab menjadi kenangan yang menarik.
Lucu memang. Kalau saja aku tetap di dalam selimut lebih lama lagi, kalau saja aku berangkat lebih siang lagi, dan kalau saja hujan tidak berhenti, pasti rasa gurih kebab tidak akan bercampur bumbu kocak seperti sekarang.
Tapi, mungkin memang harusnya begitu. Langit ingin aku merasakan warna-warna yang ia punya. Rugi jika hanya satu atau dua warna saja. Dia ingin menunjukan bahwa hitam berganti merah itu bisa secepat dan sesepele itu. Semudah membalikkan telapak tangan. Seperti yang ditunjukan oleh “mereka” dan kebab hari ini. Dan aku hanya bisa terkekeh pelan.